KEPEMIMPINAN
INNOVATIVE
FAKTOR
PENENTU DALAM KERJASAMA TIM
LILIN
BUDIATI
"Mediocrity
isn't a quest to be pursued."
Kita tidak akan
"jadi apa-apa" atau menciptakan apa-apa, bila selalu
"sekadar" pegawai, "sekadar" manajer, atau
"sekadar" orang kecil……
|
||||
|
||||
Pendahuluan
Pada setiap organisasi yang memiliki ciri-ciri inovatif, selalu ada
seorang tokoh pimpinan yang membuat organisasi tersebut menghasilkan karya
inovatif. Peranan seorang pemimpin sebagai penggerak sekumpulan orang dalam
organisasi untuk mencapai tujuan bersama sangatlah penting. Pemimpin adalah
orang yang menjadi penggerak dan sumber motivasi bagi pengikutnya untuk
mencapai tujuan organisasi. Ada beberapa hal biasanya yang dilakukan oleh
seorang pemimpin inovatif, memiliki
visi yang strategis, mampu menginspirasi pengikutnya untuk ikut memiliki visi
tersebut dan mewujudkannya menjadi kenyataan, memberikan kesejahteraan,
memberikan rasa aman; membangun
kreatifitas dan inovatif, Kreatifitas adalah proses melahirkan ide
atau gagasan. Proses ini merupakan perpaduan dari motivasi, waktu, usaha dan
pengetahuan. Kreatifitas adalah produk berpikir divergen. Kreatifitas untuk
menciptakan sesuatu yg baru, Kreatifitas adalah
keberanian untuk melepaskan diri dari kepastian. Kita harus mau membebaskan
dari belenggu bahwa hanya ada satu jawaban yang pasti untuk satu masalah.
Tidak ada satu hal pun yang
absolut dan tak tergantikan. Model berpikir adalah “alat” yang digunakan
untuk membuat prediksi, menjadi acuan untuk bertindak dan memahami dunia.
Sedangkan
inovasi adalah ide yg aplikatif
dan tindakan yg mendatangkan hasil. Inovasi adalah hasil dari berpikir
konvergen. Inovasi menciptakan hal yang berbeda dari sebelumnya atau sudah ada. Inovasi lahir dari
gabungan pengetahuan yg sudah ada dan pengembangan pengetahuan yg baru.
Pemimpin inovativ adalah sosok
yang berani mengambil risiko dengan senantiasa menciptakan hal-hal baru.
Mereka adalah orang yang berpikiran positif terhadap para pengikutnya dan
memperlakukan para pengikut dengan penuh kepercayaan agar mereka dapat
mewujudkan potensi kreatifnya semaksimal mungkin. Bekal fundamental yang
dimiliki pemimpin inovatif adalah: (a)Integritas; (b)Motivasi; (c) Kapasitas/kemampuan; (d) Pemahaman/pengertian; (e)
Pengetahuan serta (f) Pengalaman. Fundamen (a) sampai (f) memiliki makna yang
sequen/berurutan. Tanpa (a) maka (b) akan berbahaya. Tanpa (b) maka (c) tidak berpotensi. Tanpa (c) maka (d) akan
terbatas. Tanpa (d) maka (e) tak berarti Tanpa (e) maka (f) menjadi buta. (f) mudah diperoleh/ diberikan dan dapat dengan
mudah digunakan hanya oleh orang-orang yang memiliki kualitas A s/d E.
Kamuflase paradigma
Paradigma adalah
ekstraksi dari teori, prinsip dan nilai-nilai yang telah terinternalisasi,
berfungsi sebagai sistem “kekebalan” yang memusnahkan pikiran atau ide yg
dapat mengganggu sistem nilai kita. Paradigma inilah yg menentukan pola pikir dan cara kita memandang dunia. Jika paradigma
kita kaku, ia akan memusnahkan semua ide-ide baru dan berbeda.
Paradigma ini juga yang dapat menggambarkan kekuatan karakter seseorang.
Djamaludin (2012), Betapa pentingnya memutar pola pandang tentang
inovasi diingatkan oleh beberapa orang pakar seperti berikut. Charles Handy
(1997):
"Kita
keliru bila kita beranggapan bahwa masa depan adalah kelanjutan dari masa
lalu... sebab masa depan akan sangat berbeda dengan masa lalu. Kita harus
meninggalkan cara lama agar sukses menghadapi masa depan"
Peter Senge
(1997):
"Kita
harus berhenti membayangkan apa yang akan dilakukan di masa) depan dengan
melihat apa yang membuat kita sukses di masa lalu? \
Michael Hammer
(1997J:
"Kalau
kita merasa diri kita hebat, kita akan binasa. Sukses di masa lalu tidak
menjamin sukses di masa depan. Formula sukses di masa lalu akan jadi penyebab
kegagalan di masa depan."
Namun banyak orang mengambil posisi
"tengah" alias posisi "aman". Mereka tidak berusaha
memperjuangkan ide dan pendapatnya kuat-kuat, tetapi lebih memilih untuk
menyenangkan semua pihak. Dalam berprestasi, ada orang yang puas dengan
menjadi "rata-rata", berorientasi pada penilaian pihak eksternal
sehingga tidak menuntut dirinya untuk selalu mencapai titik terbaik (E.
Rachman, 2012). Tipe orang seperti diatas tidak memahami bahwa perubahan tidak akan pernah berhenti,
sebab perubahan itu bersifat permanen. Tidak ada satupun diantara kita yang dapat mengingkari fakta ini. Dan kita pun pasti ikut didalamnya. Negara, perusahaan, rumah tangga, bahkan individu harus mengakui dan membuka diri terhadap perubahan dunia luar, sekaligus
merencanakan perubahan internal secara periodik. Kita adalah bagian dari perubahan yang bergerak
secara kontinue, sehingga
jika memaksakan diri untuk tidak mengikuti arus perubahan Akan menyulitkan
dirisendiri. Manajemen yang enggan merubah paradigma mereka dan menolak menyejajarkan
diri dengan paradigma baru, niscaya akan tumbang oleh dahsyatnya perubahan itu sendiri Perubahan adalah
proses yang terorganisir dan harus diarahkan untuk memberdayakan seluruh komponen
organisasi, yang harus siap menerima dan bergabung dengan perubahan itu
sendiri (Indra Jaya
Sihombing, 2011)
Akhir-akhir
ini, banyak sekali muncul tulisan tentang pergeseran paradigma. Umumnya
membandingkan relevansi paradigma lama dan paradigma baru dalam kehidupan
yang berubah. Secara umum tulisan di bidang tersebut : menganalisis tentang
pentingnya penerapan paradigma baru yang lebih sesuai untuk mengelola masa depan yang terus
berubah dengan cepat. Salah satu contoh pergeseran paradigma adalah dalam
melihat apakah kondisi kehidupan di masa depan relatif stabil dan bisa diramalkan
(predictability). Banyak orang memiliki sudut pandang bahwa segala sesuatu
bersifat stabil dan bisa diprediksi. Pada masa sekarang dan dekade yang akan
\ datang, stabilitas tersebut semakin sulit terlihat. Apa yang terjadi di
depan semakin sulit untuk diprediksi karena perubahan menjadi tidak jelas
arahnya dan tidak lagi mengikuti sebuah pola yang konsisten. (Djamaludin,
2012)
Kematangan dan sikap seperti ini
menjadi sangat krusial di tengah banyaknya persoalan yang silih berganti dan
tuntutan yang makin kompleks. Padahal, globalisasi yang berlangsung cepat seiring dengan perkembangan teknologi
yang semakin canggih telah mewarnai era awal abad ke-21 yang ditandai dengan
kompetisi global yang berlangsung cepat dalam segala bidang. Dampaknya pun
ternyata telah menyentuh hampir semua bidang kehidupan, tak terkecuali sektor
organisasi publik. Sementara kesadaran seseorang akan
mempengaruhi di setiap aspek kehidupan, terutama dalam proses pembuatan
keputusan. Salah satu indikator organisasi sehat adalah komitmen pemimpin
dalam menyeimbangkan kinerja tim, anggota tim berkontribusi dalam memberikan
kinerja yang optimal.
Salah satu bentuk reformasi
yang mungkin ditempuh guna beradaptasi dengan era global tersebut adalah
bahwa seorang pemimpin mampu membawa anggota kelompoknya memiliki jiwa entrepreneurship yang
tinggi, yaitu kemampuan mencari cara baru guna memaksimalkan produktivitas
dan efektivitas (Osborne dan Gaebler, 1995). Hal ini perlu dilakukan
mengingat tuntutan publik yang semakin kompleks dan kebutuhan pelayanan
masyarakat yang bertambah banyak sehingga untuk mewujudkan tataran ideal tata
penyelenggaraan kepemerintahan yang baik memerlukan upaya yang serius.
Sementara itu di lain
pihak, tuntutan kebutuhan masyarakat yang mesti dilayani birokrasi semakin
kompleks dan bertambah kuantitasnya, di samping tingkat kesadaran publik yang
juga makin tinggi. Kondisi ini mengharuskan organisasi publik siap melakukan
perubahan-perubahan fundamental organisasional untuk menuju good governance.
Pemimpin visioner adalah pemimpin
inovatif
Definisi kepemimpinan yang menggambarkan apa itu kepemimpinan dan
bagaimana menjadi seorang pemimpin yang mampu mendorong kinerja timnya yang
solid, John Maxwell (dalam Bayu setiaji, 2012) mengatakan, “ Leadership is inspiring and guiding
others to instigate change from the inside-out, based on their own intrinsic
motivation. Leadership is the art of influence”. Prof Dr Roger Gill (dlam Bayu Setiaji, 2012)
mendifinisikan bahwa “ Leadership is
process of creating a desire in people to achieve objective, of getting
people to want to do what you want them to do”. Warren Bennis mengatakan, “Characterized managers are people who do
things right and leaders are people who do the right things”.
Kepemimpinan transformasional dapat dipelajari dalam model kepemimpinan yang dikembangkan
oleh Avolio dan Bass (1991), Full Range
Leadership model. Di dalamnya terdapat kepemimpinan transaksional dan dan
kepemimpinan transformasional. Unsur-unsur dari kedua jenis kepemimpinan ini
terbentuk berdasarkan sumbu vertikal yang mengukur efektivitas dan sumber
horisontal yang mengukur keterlibatan (pasif – aktif). Kepemimpinan
transaksional cenderung menuju ke kuadran tidak efektif dan pasif;
kepemimpinan transformasional cenderung menuju ke kuadran aktif dan efektif.
Bass (1991) menemukan delapan dimensi perilaku kepemimpinan yang mencakup dua
jenis kepemimpinan tersebut, yakni: 1) Perilaku
idealisasi (idealized influence), pimpinan yang memiliki standar tinggi
terhadap moral dan etika; 2) motivasi
inspirasional (inspirational motivation), yaitu pimpinan yang memiliki
visi kuat untuk masa depan berdasarkan nilai dan ideal; 3) Stimulasi intelektual, yaitu pimpinan
yang memberikan tantangan kepada norma organisasi, memicu timbulnya pemikiran
divergen, dan mendorong bawahan untuk menyusun strategi-strategi inovatif; 4)
Pertimbangan individu (individual
consideration), yakni perilaku pimpinan yang diarahkan untuk menciptakan
kreativitas, introspeksi, imajinasi, kekayaan sumber daya, dan wawasan yang
luas dan jeli
-
Perbedaan pengaruh jenis kepemimpinan
(West-Burnham et al. (1995:68)
Berbagai
pengertian tentang kepemimpinan, dapat disimpulkan bahwa pemimpin itu mampu
berperan sebagai seorang leader dan sebagai seorang manager dalam mengelola
organisasinya. Kompetensi seorang leader adalah
1.
Kemampuan
dalam menyampaikan sasaran
Memahami organisasi dan membawanya ke arah satu sasaran sehingga mampu
memenangkan menghadapi persaingan. Jack Welch mengatakan pemimpin yang baik
harus mampu menciptakan visi, mereka mengartikulasikan visi sepenuh
hati, merangkul visi tersebut dan tak
kenal lelah mengupayakan pencapaian visi tersebut.
2.
Kemampuan
dalam membangun hubungan
Memahami setiap orang, kelompok, atau organisasi lain yang berperan
terhadap keberhasilan perusahaan dan menghargai peran serta kontribusi
mereka. Dapat digambarkan bahwa seorang pemimpin harus mudah didekati,
mengenal kelompok-kelompok dan pemimpin informalnya, menyeluruh
memberitahukan tujuan, dan berusaha untuk bekerja sama dengan orang lain.
3.
Kemampuan
dalam memberikan inspirasi
Membangun kredibilitas pribadi dan "menyuntikkan" komitmen
kepada orang-orang lain. Seperti Ki Hajar Dewantara memberikan gambaran
dengan rumusan "Ing ngarso sung tuladha." yang artinya seorang
pemimpin yang selalu berdiri di depan harus mampu memberikan inspirasi,
contoh dan teladan bagi yang dipimpinnya.
Sementara itu, kompetensi seorang manager adalah
a.
Kemampuan dalam mengarahkan operasi
Menetapkan proses yang memungkinkan organisasi dan orang-orang di
dalamnya untuk dapat bergerak maju ke arah tercapainya sasaran.
b.
Kemampuan dalam mengembangkan organisasi
Mengembangkan keterampilan, serta menetapkan peran dan tanggung jawab
setiap orang untuk dapat menyelesaikan pekerjaan.
c.
Kemampuan dalam mendorong kinerja
Menyampaikan pesan kepada setiap orang agar mereka mengerti bahwa
kinerja mereka mempengaruhi kinerja tim, kelompok, dan organisasi secara
keseluruhan.
Bagi sebuah tim, sangat ideal sekali jika memiliki atasan atau pemimpin yang memiliki kedua
kompetensi tersebut yang seimbang. Namun, John P Kotter dalam bukunya "A
Force for Change: How Leadership Differs from Management" mengatakan
bahwa jumlah pemimpin yang memiliki kompetensi leader dan manager yang kuat
dan seimbang, sangatlah sedikit, jauh dibandingkan dengan seorang pemimpin
yang hanya mampu menjalankan peran manajerialnya. Hal ini yang menjadikan
tantangan bagi seorang pemimpin, di dalam mengembangkan kemampuan leader dan
manager dan mengimplementasikannya secara seimbang
Pada aspek sumberdaya
manusia, isu utamanya adalah upaya menciptakan sumberdaya yang kompeten dalam
bidangnya yang mencakup beberapa strategi di antaranya rekrutmenSDM, pengembangan pegawai dan peninjauan
sistem jenjang karir. Muljarto Tjokrowinoto (2001) mengemukakan bahwa
kompetensi seorang meliputi beberapa kriteria berikut: Pertama, Sensitif dan
responsive terhadap peluang dan tantangan yang timbul di dalam pasar; Kedua,
Tidak terpaku pada kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental,
akan tetapi harus melakukan terobosan melalui pemikiran yang kreatif dan
inovatif; Ketiga, Mempunyai wawasan futuristik dan sistemik; Keempat,
Mempunyai kemampuan mengantisipasi, memperhitungkan dan meminimalkan resiko; Kelima, Jeli terhadap potensi
sumber-sumber dan peluang baru; Keenam, Mempunyai kemampuan untuk
mengkombinasikan sumber menjadi resource mix yang mempunyai produktivitas
tinggi; Terakhir, Mempunyai kemampuan mengoptimalkan sumberdaya yang tersedia
dengan menggeser kegiatan
yang berproduktivitas rendah menuju yang tinggi.
Dalam kaitannya dengan
pengembangan pegawai maka langkah strategis yang mesti ditempuh seorang
pemimpin adalah menyediakan
peluang sebesar-besarnya bagi pegawai yang potensial untuk menggali
kretifitas dan inovasinya. Sementara
untuk manajemen organisasi perlu dilakukan perubahan organisasional mendasar seperti dinyatakan
Osborne dan Gaebler bahwa salah satu bentuk reformasi yang mungkin ditempuh
guna beradaptasi dengan era global sekarang adalah birokrasi kini mesti
memiliki jiwa entrepreneurship yang tinggi, yaitu kemampuan mencari cara baru
guna memaksimalkan produktivitas dan efektivitas. Di samping itu mengubah
penekanan dari top-down approach ke pendekatan yang lebih berorientasi kepada
kepentingan publik, mampu membangun jejaring untuk meningkatkan
kredibilitas kelembagaan.
Budaya Organisasi
Sekali
lagi, salah satu penyebab kurang berhasilnya reformasi administrasi untuk
mendukung penyelenggaraan tata pemerintahan karena Pemerintah tidak menaruh
perhatian yang serius terhadap perubahan tata kelola pemerintahan budaya organisasi. Budaya organisasi
amat besar pengaruhnya pada keberhasilan dan mati hidup sebuah organisasi.
Karena itulah seharusnya pemimpin organisasi bersedia mengeluarkan dana untuk mengubah budaya
organisasi agar selalu
sesuai dengan lingkungannya yang harus selalu berubah dengan cepat. Fakta menunjukan, birokrasi pemerintahan kurang memiliki perhatian terhadap perubahan lingkungan
karena dua alasan. Pertama, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana
sosiologi Jerman merumuskan konsep birokrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan
sebagai bentuk organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk
menjalankan tugas-tugas yang bersifat massif tetapi redundant. Dengan
demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan
lingkungannya berubah.
Budaya
organisasi adalah semua ciri yang menunjukkan kepribadian suatu organisasi:
keyakinan bersama, nilai-nilai dan perilaku-perlaku yang dianut oleh semua
anggota organisasi. Budaya organisasi adalah tradisi yang sangat sukar
diubah. Dalam bukunya “Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi”,
Djokosantoso Mulyono mendifinisikan budaya organisasi sebagai “sistim nilai
yang diyakini oleh semua anggota organisasi, yang dipelajari, diterapkan dan
dikembangkan secara berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan
dapat dijadikan acuan berprilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan
organisasi yang telah ditetapkan”.
Nilai-nilai
dan perilaku yang diperlukan untuk penyelenggaraan pemerintahan amanah antara
lain adalah: demokratis, adil, costconsious, transparan, akuntabel.
Semuanya ini sebenarnya terangkum dalam konsep budaya FAST yang
disebarluaskan oleh Ary Ginandjar yaitu: fathonah, amanah, siddiq dan
tabligh.
Pada
organisasi baru, membangun budaya organisasi yang sesuai dengan misinya lebih
mudah melakukannya. Tetapi dalam organisasi kementerian dan lembaga
non-departemen di pusat dan dinas serta lembaga non-dinas di daerah, nilai
dan perilaku sudah berkembang menjadi tradisi yang sukar berubah. Peter Bijur
(2001) menganggap syarat yang paling utama untuk menjamin keberhasilan upaya perubahan
budaya organisasi adalah kepemimpinan yang kuat (strong leadership) baik
dalam kemampuan memimpin maupun dalam ketajaman visinya, ini yang menjadi kendala utama.
Selanjutnya,
ada 5 faktor yang penting untuk mensukseskan perubahan budaya organisasi
yaitu:
1. Nilai-nilai yang mendukung pencapaian
visi yang telah ditetapkan;
2. Motivasi yang mampu membangun
kerjasama serta memobiliasi
dukungan untuk perubahan;
3. Ide dan Strategi yang tepat untuk
menciptakan lingkungan yang mampu menyuburkan kebersamaan dalam perumusan
ide-ide dan strategi untuk mendorong perubahan;
4. Tujuan yang jelas serta selalu
dikomunikasikan kepada para anggota organisasi;
5. Etika kinerja yang ditumbuhkan dengan sistem
remunerasi dan penghargaan yang tepat.
Mungkinkah Tercipta
Budaya Organisasi
Perubahan
budaya organisasi adalah ibarat perjalan panjang yang melelahkan dan
merupakan upaya yang bersifat incremental, tidak bisa melalui gebrakan
revolusioner. Budaya organisiasi paternalisitik dan sentralistik, misalnya,
tidak serta merta berhasil berubah dengan menjungkir balikkan pemerintah yang
berkuasa, seperti yang sedang dialami selama beberapa tahun ini.
Organisasi yang ingin
merubah budayanya harus berani menempuh jalan yang tidak selalu lurus, dari
kondisi stabil, melalui turbulence atau bahkan chaos, untuk mencapai
penyesuaian dengan nilai-nilai, norma-norma, perilaku dan simbol-simbol budaya baru. Organisasi harus disipkan
untuk selalu adaptif terhadap perubahan-perubahan, harus berani
bereksperimen, harus berani gagal dan harus dapat menyesuaikan diri dengan
unsur-unsur budaya baru. Salah satu ciri utama kehidupan di masa
sekarang dan masa yang akan datang adalah terjadinya perubahan yang sangat
cepat di dalam lingkungan kehidupan manusia. Pola pikir dan pola tindakan
yang digunakan untuk menata kehidupan, baik kehidupan individual maupun
kehidupan organisasi yang pada waktu lalu dianggap sebagai cara yang
menghantarkan ke arah sukses, kini cara-cara yang sama bisa membuat
organisasi ketinggalan zaman.
Walaupun
sudah dilakukan dengan komitmen yang tinggi serta program yang benar, selalu
ada resiko perubahan budaya organisasi tidak berjalan seperti diharapkan,
atau dalam kasus yang
ekstrim bertentangan dengan arah
yang diinginkan. Perubahan budaya organisasi adalah proses panjang dan mahal
yang tidak ada jaminan akan sukses. Minimal diperlukan waktu 5 sampai 10
tahun untuk merubah budaya organisasi dengan sekala seperti Republik
Indonesia atau pemerintah provinsi, kabupaten dan kota. Karena itu strategi yang
diajurkan oleh para ahli (Morgan, 1996 dan Toolpack, 2001) adalah perubahan
secara bertahap dan gradual. Memang kurang revolusioner, kurang radikal
tetapi lebih aman. Namun semuanya terletak pada pengaruh pemimpin yang
mampu mengelola soliditas tim.
DAFTAR PUSTAKA
Bayu
Setiaji,2012, VP Training Delivery PT
Lutan Edukasi, Kompas, Sabtu, 14 April 2012
Djamaludin,
2012, Psikologi Kepemimpinan dan Inovasi, Penerbit Erlangga
Indra Jaya Sihombing,
Suara Merdeka Sabtu 5 Februari 2011,seri
komunikasi Bisnis,
Drs. Suranto, 2012,
M.Pol.
Menggagas Strategi Optimalisasi Kapasitas
Birokrasi Menuju Good Governance
PMII Komfaksyahum 2007, Membangun Budaya Birokrasi Untuk Good Governance
|
Rabu, 05 Juni 2013
KEPEMIMPINAN INNOVATIVE FAKTOR PENENTU DALAM KERJASAMA TIM
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar